Sabtu, 08 November 2025

Mari Berprasangka

Tampak menyedihkan, jika seorang lelaki muda menghabiskan malam minggunya hanya dengan duduk menghadap pintu kamar, sendirian. Tak ada teman bicara, tak ada tawa. Hanya dirinya, tempat sampah plastik, dan suara AC.

Terlihat ia sedang menikmati buah mangga. Setelah kuperhatikan, sepertinya itu buah yang ia bawa dari kampungnya beberapa hari lalu. Sayangnya, mangga itu sudah tidak segar lagi. Sekitar seperempat bagiannya membusuk, dan bagian ujungnya masih terasa kecut. Ia tetap memakannya perlahan, seolah tak peduli pada rasanya.

Selain mangga, di jarinya terselip rokok kretek Samsu yang terus menyala. Di telinganya, sepasang TWS terpasang, entah lagu apa yang ia dengarkan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tidak seperti beberapa bulan lalu, saat pertama kali ia datang ke kota ini. Waktu itu ia tampak bersemangat, penuh rencana, dan sering tersenyum kecil saat menikmati malam seperti ini.

Sekarang berbeda. Mungkin ia sedang banyak pikiran. Atau mungkin sedang sakit? Dugaan keduaku terasa lebih masuk akal, karena dari tadi aku melihatnya beberapa kali menarik napas berat dan mengusap hidungnya dengan tisu. Sesekali terdengar suara “sentrap sentrup” khas orang flu.

Yang tak kumengerti, meski sedang flu, ia masih saja merokok. Sudah sepuluh menit aku mengamatinya, dan itu sudah batang ketiga yang ia habiskan. Aku tak tahu, apakah itu karena kecanduan, atau justru karena baginya merokok adalah satu-satunya cara untuk tetap waras.

Entahlah. Tapi hatiku lebih condong pada dugaan kedua. Aku tahu, akhir-akhir ini hidupnya agak terseok-seok. Ada sesuatu yang terjadi sekitar enam bulan lalu, sebuah pengalaman pertama yang cukup berat baginya. Tentang hal itu, mungkin akan kuceritakan lain waktu.

Namun siapa tahu, mungkin saja sekarang ia sebenarnya bahagia. Semua yang kukatakan sejauh ini hanya berdasarkan prasangkaku saja. Jujur, aku belum pernah benar-benar mengobrol dengannya secara terbuka. Aku belum tahu apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan, atau ke mana arah hidupnya setelah ini. Aku hanya melihat dari jauh, menebak-nebak dari gestur dan kebiasaannya yang berubah.

Kadang aku ingin mencoba berbicara dengannya, tapi ada rasa takut. Takut kalau obrolan itu justru membuatku terbawa arus, ikut terseret dalam dunianya, atau bahkan termanipulasi oleh ceritanya sendiri. Mungkin itu alasan kenapa aku masih diam.

Namun, semoga suatu hari nanti aku bisa memberanikan diri untuk duduk di sampingnya dan berbicara langsung. Aku ingin tahu apakah prasangkaku selama ini salah. Lebih dari itu, aku ingin memastikan bahwa ia benar-benar baik-baik saja, bahwa ia bahagia menjalani hidupnya, dan bangga pada dirinya sendiri.

-

Surabaya, 08 November 2025

Minggu, 09 Maret 2025

Merawat Rasa Bosan


Salah satu hal yang paling menarik saat berselancar di internet adalah menemukan gagasan-gagasan baru yang dapat memperluas sudut pandang saya. Tidak jarang, saya menemukan pemikiran yang terasa begitu segar dan mencerahkan, seolah memberikan perspektif baru terhadap pengalaman yang sedang saya jalani dan kebiasaan yang ingin saya perbaiki.

Bahwa mungkin alam mendukung hal yang ingin saya perbaiki. Untuk itu, suatu hari ketika saya berselancar di internet, saya menemukan sebuah topik yang menarik di platform Quora, yaitu "Bosan juga perlu dirawat." Judul ini langsung menarik perhatian saya karena terdengar paradoksal sekaligus menggugah rasa penasaran. Sayangnya, saat itu saya sedang tergesa-gesa berpindah ke aplikasi WhatsApp karena ada urusan pekerjaan yang harus segera ditangani. Ketika akhirnya saya kembali ke Quora, laman tersebut telah ter-refresh otomatis, menghapus jejak artikel yang baru saja saya temukan. Saya berusaha mencarinya kembali, tetapi entah mengapa saya belum juga menemukannya hingga sekarang.

Namun, meskipun artikel belum kunjung saya temukan kembali, satu hal yang masih melekat dalam ingatan saya adalah kesan mendalam yang ditinggalkan oleh judulnya. "Bosan juga perlu dirawat." Awalnya, saya menafsirkan pernyataan ini secara keliru. Sekilas, saya menganggap bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah bagaimana kita bisa menghindari rasa bosan dengan terus mencari hal-hal baru atau tetap aktif agar tidak mudah merasa jenuh. Namun, setelah mencoba memahami lebih dalam, saya justru menyadari bahwa inti pesan dari judul tersebut bertolak belakang dengan asumsi awal saya.

Dalam era digital yang serba cepat ini, kita sering kali terjebak dalam kesibukan yang tanpa sadar kita ciptakan sendiri. Hidup kita kini nyaris tidak bisa lepas dari layar gadget. Dari pagi hingga malam, ada begitu banyak distraksi yang membuat kita selalu sibuk, baik secara fisik maupun mental. Tanpa kita sadari, hampir setiap aktivitas kita kini selalu ditemani oleh ponsel atau perangkat digital lainnya.

Coba perhatikan pola keseharian kita. Saat makan, kita menonton YouTube. Saat boker di kamar mandi, kita scrolling TikTok. Sebelum tidur, kita sibuk menjelajahi Instagram atau membaca berita yang terus bergulir tanpa henti. Bahkan, saat sedang mengantre atau menunggu sesuatu, tangan kita refleks mengambil ponsel untuk sekadar mengecek media sosial atau membaca notifikasi yang mungkin tidak begitu penting. Semua ini menciptakan kebiasaan di mana kita selalu membutuhkan sesuatu untuk mengisi waktu, seakan-akan kita takut menghadapi kekosongan.

Inilah mengapa gagasan tentang "merawat kebosanan" menjadi sangat relevan bagi saya, pun juga berharap relevan terhadap anda. Artikel yang saya temukan di Quora itu sebenarnya ingin menyampaikan bahwa kita perlu melatih diri untuk terbiasa dengan rasa bosan tanpa merasa harus segera mengusirnya dengan distraksi dari gadget. Kebosanan, yang dulu mungkin terasa sebagai sesuatu yang negatif, sebenarnya memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Ia memberi ruang bagi pikiran kita untuk beristirahat, untuk merenung, dan bahkan untuk melahirkan kreativitas yang lebih dalam.

Banyak orang besar dan pemikir kreatif di dunia yang justru menemukan ide-ide cemerlang saat mereka terbebas dari distraksi. Seperti yang dikatakan oleh Cal Newport dalam bukunya "Deep Work," seseorang dapat mencapai tingkat pemikiran yang lebih mendalam ketika mereka mampu fokus tanpa gangguan. Newport menekankan pentingnya menghindari interupsi digital agar otak bisa bekerja secara optimal dalam menghasilkan ide-ide baru. Bahkan, beberapa penulis terkenal mengakui bahwa inspirasi mereka sering kali muncul saat mereka sedang tidak melakukan apa-apa, membiarkan pikiran mereka mengalir tanpa batasan.

Namun, di zaman sekarang, di mana hampir setiap detik perhatian kita tersedot oleh notifikasi dan konten digital, kita nyaris tidak memiliki kesempatan untuk benar-benar merasa "bosan". Akibatnya, otak kita terus-menerus bekerja tanpa jeda, selalu mencari stimulasi baru, yang pada akhirnya justru dapat menyebabkan kelelahan mental dan berkurangnya kemampuan untuk berpikir kreatif secara mendalam.

Jadi, bagaimana cara kita mulai "merawat" rasa bosan ini?

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan sengaja menciptakan momen tanpa distraksi. Misalnya, ketika sedang makan, cobalah untuk tidak menonton atau membaca apa pun. Fokuslah pada makanan, rasakan teksturnya, nikmati aromanya, dan perhatikan bagaimana tubuh kita meresponsnya. Ketika sedang menunggu di suatu tempat, biarkan diri kita mengamati lingkungan sekitar tanpa harus segera mengambil ponsel. Saat nongkrong dengan teman, coba tinggalkan sejenak gawai dan berikan perhatian penuh pada percakapan. Terlalu sering melihat layar saat berbincang bisa mengurangi kualitas interaksi dan membuat kita kehilangan momen berharga. Atau, luangkan waktu di penghujung hari untuk duduk diam tanpa gangguan, membiarkan pikiran mengembara tanpa harus selalu diisi dengan informasi baru.

Melakukan hal ini mungkin terasa sulit pada awalnya, terutama bagi kita yang sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk dunia digital. Akan ada dorongan untuk segera mengisi kekosongan dengan sesuatu yang bisa memberikan stimulasi instan. Namun, dengan latihan dan kesadaran yang konsisten, kita bisa mulai menemukan kembali keindahan dalam kebosanan itu sendiri.

Merawat kebosanan bukan berarti kita harus menghindari teknologi atau menolak kemajuan zaman. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk menyeimbangkan hidup, memberikan kesempatan bagi pikiran kita untuk beristirahat, dan membiarkan kreativitas tumbuh secara alami. Dengan belajar menikmati momen tanpa distraksi, kita dapat menemukan ketenangan yang selama ini mungkin sulit kita raih di tengah derasnya arus informasi.

Jadi, lain kali ketika saya maupun Anda sekalian merasa bosan, jangan terburu-buru mencari distraksi. Izinkan diri kita merasakan kebosanan itu sepenuhnya, membiarkannya hadir tanpa perlawanan. Bisa jadi, dalam momen hening tersebut, kita justru menemukan gagasan baru, memahami diri lebih dalam, atau sekadar menikmati ketenangan yang jarang kita rasakan di tengah hiruk-pikuk dunia digital.

Senin, 24 Februari 2025

Sukatani Membayar dengan Klarifikasi: Senjata Tumpul Represi dan Kebangkitan Suara yang Tak Bisa Dibungkam


Sebagai orang awam yang tak punya pretensi sebagai kritikus musik, saya tak hendak berdebat soal selera. Tapi izinkan saya menegaskan– musik bukan sekadar komoditas hiburan, melainkan cermin zaman. Lagu "Bayar Bayar Bayar" Sukatani mungkin terdengar seperti riuh rendah yang tidak karuan bagi telinga yang tak terbiasa dengan musik punk. Aransemennya yang keras, lirik repetitif yang sengaja dibuat polos, dan vokal yang lebih mirip teriakan protes ketimbang nyanyian, memang bukan produk untuk memuaskan selera pasar. Tapi justru di situlah kekuatannya ia lahir sebagai tamparan, bukan pujian.

Polisi mungkin bisa mengkriminalisasi nada-nada fals, tapi bagaimana mereka hendak mengadili kebenaran yang dikumandangkan? Persoalannya bukan pada kualitas musikal, melainkan ketakutan penguasa pada metafora yang menyayat borok institusi. Ketika Sukatani berteriak "Aduh aduh ku tak punya uang untuk bisa bayar polisi", ia bukan sekadar menggugat suap, melainkan menelanjangi sistem korup yang telah menjadi ritual wajib dalam birokrasi. 

Ironi terbesar justru ada pada reaksi polisi. Alih-alih menjawab substansi kritik, mereka memilih jalur represif. Memaksa klarifikasi, mengintimidasi, dan menjadikan seniman sebagai pesakitan. Tindakan ini mengingatkan kita pada rezim Orde Baru yang memenjarakan Rendra karena puisi atau membredel Teater Koma karena dianggap "mengganggu ketertiban". Bedanya, di era digital ini, represi justru menjadi bumerang. Klarifikasi Sukatani yang dipaksakan itu ibarat bensin yang menyulut api perlawanan. Setiap upaya pembungkaman justru mengubah lagu ini menjadi mars generasi yang frustasi pada negara yang lebih gemar membungkam ketimbang membenahi diri.

Sejarah membuktikan, karya seni yang dianggap "berbahaya" justru abadi sebagai monumen perlawanan. "Genjer-Genjer" dikubur hidup-hidup karena dianggap bagian dari G30S, padahal ia sekadar menggambarkan penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang. Di tangan penguasa yang paranoid, bahkan lagu tentang sayur bisa jadi ancaman. Hari ini, "Bayar Bayar Bayar" mengulangi sejarah itu—dibenci penguasa karena menyuarakan apa yang semua orang tahu tapi tak berani ucapkan bahwa korupsi telah menjadi darah daging sistem.

Polisi mungkin mengira klarifikasi akan mengubah Sukatani menjadi boneka yang bisu. Tapi mereka lupa, roh lagu yang mereka bawakan ada pada pembangkangan. Setiap tekanan justru mengukuhkan posisi Sukatani sebagai ikon perlawanan. Mereka sekarang bukan sekadar band, melainkan simbol perlawanan terhadap mesin represi yang mengatasnamakan "demokrasi". Publik yang cerdas tahu bahwa klarifikasi di bawah todongan legitimasi kekuasaan adalah pertunjukan absurd yang lebih memalukan daripada rekayasa kasus konferensi pers terbunuhnya siswa SMK.

Kepada polisi, izinkan saya mengutip Wiji Thukul: “Sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu, ia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?” Daripada sibuk memata-matai lirik lagu, mengapa tak membersihkan institusi yang bobrok dari mafia? Daripada menuntut klarifikasi, mengapa tak transparan soal kasus? Kalian ribut melawan metafora, tapi tutup mata pada oknum instansi sendiri yang menggerogoti uang rakyat.

Sukatani telah membuktikan, senjata paling ampuh melawan represi adalah keberanian bersuara. Klarifikasi paksa itu justru monumen kekalahan penguasa—pengakuan tak langsung bahwa kritik mereka tepat sasaran. Kini, setiap kali lagu itu dinyanyikan ulang, ia bukan sekadar protes, melainkan epitaf untuk kredibilitas institusi yang memilih jadi algojo ketimbang pelayan publik.

Maka, biarkan "Bayar Bayar Bayar" menggema. Biarkan ia menjadi pengingat– sejarah selalu ditulis oleh mereka yang berani melawan, bukan oleh para penjaga status quo. Dan untuk polisi, inilah pilihanmu: tetap jadi badut represif dalam sirkus kekuasaan, atau berhenti jadi algojo dan mulai jadi entitas yang mendengarkan rakyat?


---