Rabu, 15 Januari 2025

Uang saku yang kurang

 Ada saja gebrakan yang di lakukan oleh simbul. Ya, anak pemilik kos yang saya ceritakan sebelumnya. Pagi ini ia membuat drama tak mau berangkat sekolah karena uang sakunya kurang. Saya tahu karena ia pagi ini lagi-lagi mengasah keahliannya dalam berteatrikal di depan rumah.

Dasi merah yang sudah rapi menjadi melorot dan hampir lepas, pakaian yang sudah rapi licin tercerai berai keluar dari sabuknya, tas yang digendongnya luluh lantah beserta isi di lantai depan pintu, topi yang sedari tadi hinggap bertengger rapi di kepalanya, sekarang sudah menemani tas yang terkapar dilantai.

Sungguh menjadi satu hiburan dan kegelisahan tersendiri bagi saya yang menonton pertunjukkan yang dilakukan oleh satu bocah satu SD yang ginuk-ginuk ini. Menjadi hiburan dikarenakan memang lucu tingkah ngamuknya. Namun, menjadi satu kegelisahan mungkin nantinya saya akan menjadi orang tua dan harus merasa lumrah dan harus sabar akan tingkah laku anak saya nantinya.

Walau memang agak sabar menunggu emosinya reda. Dan syukurnya anak tetangga lain juga mau berangkat lewat rumahnya dan melihat Simbul menangis, lalu tiba-tiba menghampiri. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi ajaibnya, tangis Simbul perlahan mereda. Mungkin ia malu dilihat temannya. Setelah beberapa detik menimbang, akhirnya simbul menyerah pada nasib, menyeka air mata dengan ujung dasi. akhirnya ia legowo untuk berangkat sekolah.

Usahanya sia sia.

Mungkin jika drama yang ia buat berhasil, saya coba membayangkan betapa bahagianya ia di sekolah. mungkin, sudah memikirkan bahwa ia yang paling kaya diantara teman temannya karena uang sakunya pagi ini bertambah. Semua pedagang yang berderet di depan mungkin akan ia singgahi dan tinggal tunjuk saja, teman temannya yang ikut membersamainya akan ia traktir. Makan siang gratis dari pemerintah mungkin akan ia acuhkan pula.

Tapi imajinasi memang tinggal imajinasi. Realita yang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh Simbul. Ia tetap melanggang lemas berangkat menuju destinasi pembelajaran seperti biasanya, dengan uang saku yang "gagal optimal".

Simbul memang bocah kelas satu SD, tapi bakatnya di bidang seni peran teatrikal benar-benar layak iapresiasi. Kalau suatu hari ia muncul di layar kaca, ataupun ada video viral di akun youtubenya, saya bisa dengan bangga berkata, "Saya saksi pertama dari kebangkitan
kariernya."

Rabu, 08 Januari 2025

Euforia Timnas


Tahun ini memang tahunnya timnas buat jadi bahan perbincangan. Di mana-mana, dari beranda kos, warkop, depan Indomaret, sampai jadi bahan slentingan grup kerjaan. Atmosfer ini jelas saya rasakan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Seingat memori saya, dari dulu-dulu jarang sekali ada yang niat menggelar acara nobar (nonton bareng) untuk pertandingan timnas. Paling pol ya nobar final Indonesia pas jamannya Evan Dimas. Tapi sekarang? Begitu kualifikasi Piala Dunia dimulai, tiap warkop, pos ronda, sampai pabrik mendadak jadi stadion mini. 

Ya, anda tidak salah baca, Di pabrik tempat saya kerja, banyak karyawan usul untuk diadakan nobar timnas di pabrik. Banyak karyawan yang biasanya minta hiburannya jam lembur, ini malah minta manajemen buat ngadain nobar timnas main kualifikasi piala dunia. Gak ketebak dolor.  

Tapi, di tengah euforia ini, ada berita yang bikin melongo: Shin Taeyong dipecat. DI-PECAT!. Lah, piye ceritane? Wong ini pelatih yang katanya sudah bikin timnas jadi lumayan manusiawi di mata dunia. Prestasi ada, progres juga nyata. Kok malah di "bebas tugaskan"? Saya, yang biasanya cuma buka berita bola pas Indonesia main, jadi ikutan kepo.  

Ini kabar yang menggemparkan memang. Di pabrik, topik ini jadi bahan utama diskusi di smoking area. Kalau biasanya buruh seperti saya ngomongin target kerja, jam lembur yang kurang, beban kerja yang tidak adil, event sound horex, sekarang malah ngomongin perkembangan timnas selepas STY dan berlagak jadi kayak pengamat bola ulung. 

Mulai analisa ngalor-ngidul, dari prestasi serta taktik STY, alasan kenapa dipecat, sampai ramalan masa depan Patrick Kluivert, pelatih pengganti yang katanya di interview langsung sama usernya yakni Pak Erick Thohir. Bung towel mungkin akan shock dengan analisa-analisa yang mencuat di forum tersebut jika ikut nimbrung.

Sebagai rakyat biasa yang nggak ngerti bola lebih dari sekadar "Timnas Indonesia Menang" saya cuma punya satu harapan: semoga dengan pelatih baru yang katanya "langsung interview User" ini, timnas bisa lolos ke ajang paling prestisius di planet bumi. Jangan cuma puas naik peringkat. Minimal, ya minimal banget lho ini, timnas kita bisa ngalahin Argentina lah. Wong arab saja kemarin bisa di "dua kosong"kan.

Topik Timnas ini sudah tak khayalnya seperti topik politik pilpres kemarin penuh kejutan dan konflik yang bikin kita betah jadi komentator setia. Yang penting, apapun yang terjadi, wong cilik seperti saya tetap setia mendukung sambil sesekali ngrasani. Maju terus, Garuda! Jangan lupa oleh-oleh Tacos Los Palomos kalau dah balik dari LA.  

Kamis, 02 Januari 2025

Upacara Hari Kamis

 Pagi H+1 setelah tahun baru, di Pasuruan kali ini terasa sendu. Udara nggak sepanas biasanya. maklum, subuh tadi, gerimis turun pelan-pelan, semilir angin pun ikut menemani. Suasana begini memang cocok menikmati seduhan kopi pahit sembari melanjutkan buku yang sudah hampir 3 bulan ndak tamat-tamat. Tapi, niat baca itu seketika buyar gara-gara peristiwa kecil yang saya saksikan langsung dari depan kamar kos.

Anak Bapak kos, sebut saja namanya Simbul, yang harusnya sudah siap upacara bendera di Sekolahnya, tiba-tiba muncul di depan rumah tepat jam 06.57 pagi. Wajahnya kusut kanebo, langkahnya gontai, kayak abis ketahuan nyontek di kelas. Saya cuma bisa bengong sambil menerka-nerka, “Ini bocah kenapa lagi?” Belum sempat saya tebak, Simbul sudah bikin aksi teatrikal. Dengan penuh emosi, dia melempar topi merah putihnya ke depan pintu. Topi itu tergeletak begitu saja, dramatis.

Simbul diam, bungkam total. Dia cuma berdiri dengan tatapan penuh arti, membiarkan semesta menebak-nebak isi hatinya. Sementara itu, ayahnya yang lagi sibuk menyapu halaman mendadak berhenti. Dengan raut muka setengah penasaran, setengah kesal, beliau akhirnya bertanya:
"Opo o kok wis mulih isuk ngeneki? Isih prei ta? Bukane mari ngene upacara ta pean? (Kenapa pulang pagi-pagi begini? Masih libur ya? Bukannya sebentar lagi kamu upacara?)"

Simbul yang awalnya diam, tiba-tiba menjawab dengan nada penuh drama.
"Isin aku, Yah. Iki dino opooooo? (Malu aku, Yah. Ini hari apaaa?)"

Saya, yang lagi nyeruput kopi, langsung tersedak. Ini Kamis, Saudara-Saudara! Kamis, bukan Senin! Saya sampai meringis, nahan tawa mencoba tidak kelihatan terlalu bahagia di atas penderitaan orang lain.

Jadi begini, orang tua dan juga Simbul ternyata lupa kalau hari ini bukan Senin, alias bukan jadwal upacara bendera. Dengan penuh semangat 45, dia pakai full dress code seragam lengkap plus topi merah putih, hanya untuk menyadari bahwa semua itu sia-sia karena… ya, ini Kamis. Bukan Senin yang penuh penghormatan.

Setelah mengeluarkan teriakan dramatis tadi, Simbul nggak berhenti sampai di situ. Dalam waktu singkat, dia melempar tasnya ke lantai, lalu mulai membuka kancing seragam dan celananya di depan rumah. Entah sadar atau nggak, saya dapat tontonan dan hiburan gratis pagi itu. Tapi Simbul nggak peduli. Selain karena sudah malu berat dari sekolah, dia juga harus buru-buru balik ke sekolah sebelum terlambat.

Tanpa aba-aba lagi, ayahnya langsung menyeret dia masuk ke dalam rumah. Entah apa yang terjadi selanjutnya, tapi saya yakin ada perdebatan antara rasa malu dan kebutuhan untuk tetap sekolah.

Pagi ini, saya menyadari sesuatu: hidup memang penuh drama yang tidak terduga. Kadang, hidup memang sesimpel salah hari. Hal-hal kayak gini bikin kita sadar, tahun baru nggak harus diisi resolusi muluk-muluk. Cukup pastikan kalendermu nggak salah baca saja.

Rabu, 01 Januari 2025

Tahun Baru, Koyo, dan Refleksi Fase Dewasa

Tahun baru itu sekarang rasanya udah kayak Senin pagi. Gitu-gitu aja, tapi tetap datang. Kalau dulu, pas masih SD atau SMP, malam tahun baru tuh hebohnya minta ampun. Kembang api bertebaran, suara petasan bikin ibu-ibu kampung sebelah kirim surat protes, dan kita? Begadang sambil makan kacang rebus. Tidur jam 2 pagi pun dianggap biasa, yang penting seru-seruan.

Tapi sekarang? menginjak usia dewasa ini, antusiasme malam tahun baru udah nyusut kayak baju kesiram air panas. Mungkin karena sekarang beban hidup lebih terasa daripada suara petasan. Pikiran malam tahun baru bukan lagi soal “mau bikin resolusi apa,” tapi lebih ke “Resolusi tahun lalu aja belum ada yang kelar, apalagi bikin yang baru.”

Bayangin, malam pergantian tahun bukannya mikirin kembang api atau jagung bakar, malah sibuk merenung. Pikiran bercabang ke mana-mana: masalah kerjaan yang belum kelar, cicilan, tabungan nikah yang masih level "niat," sampai keinget pertanyaan horor dari bude pak de di acara keluarga, “Kapan undangannya nyusul?” Tahun 2024 ini, sumpah, terasa kayak lewat gitu aja. Baru nyadar bulan Januari, tahu-tahu udah Desember.

Dan malam tahun baru? Jangan bayangkan ada perayaan gegap gempita. Nyatanya, malam itu cuma dihabiskan dengan misi ke warung sembako buat beli susu, koyo, dan minyak oles. Alasannya sederhana: libur sehari tidur kelamaan bikin punggung kayak papan triplek. Akhirnya, bukannya menikmati malam, malah jadi pengingat betapa dewasanya kita sekarang—dewasanya punggung, maksudnya.

Tapi ya sudah, begitulah hidup. Mungkin kembang api udah nggak semenarik dulu, tapi susu hangat dan koyo ternyata punya daya magis tersendiri. Di tengah segala renungan dan punggung pegal, ada kenyamanan kecil yang membuat kita bertahan.

Jadi, selamat tahun baru buat sesama pejuang dewasa muda! Meski perayaan kita sekarang lebih sederhana, toh, maknanya nggak kalah besar. Karena siapa sangka, momen-momen kecil kayak beli koyo di malam tahun baru bisa jadi cerita lucu di tahun-tahun mendatang.