Senin, 24 Februari 2025

Sukatani Membayar dengan Klarifikasi: Senjata Tumpul Represi dan Kebangkitan Suara yang Tak Bisa Dibungkam


Sebagai orang awam yang tak punya pretensi sebagai kritikus musik, saya tak hendak berdebat soal selera. Tapi izinkan saya menegaskan– musik bukan sekadar komoditas hiburan, melainkan cermin zaman. Lagu "Bayar Bayar Bayar" Sukatani mungkin terdengar seperti riuh rendah yang tidak karuan bagi telinga yang tak terbiasa dengan musik punk. Aransemennya yang keras, lirik repetitif yang sengaja dibuat polos, dan vokal yang lebih mirip teriakan protes ketimbang nyanyian, memang bukan produk untuk memuaskan selera pasar. Tapi justru di situlah kekuatannya ia lahir sebagai tamparan, bukan pujian.

Polisi mungkin bisa mengkriminalisasi nada-nada fals, tapi bagaimana mereka hendak mengadili kebenaran yang dikumandangkan? Persoalannya bukan pada kualitas musikal, melainkan ketakutan penguasa pada metafora yang menyayat borok institusi. Ketika Sukatani berteriak "Aduh aduh ku tak punya uang untuk bisa bayar polisi", ia bukan sekadar menggugat suap, melainkan menelanjangi sistem korup yang telah menjadi ritual wajib dalam birokrasi. 

Ironi terbesar justru ada pada reaksi polisi. Alih-alih menjawab substansi kritik, mereka memilih jalur represif. Memaksa klarifikasi, mengintimidasi, dan menjadikan seniman sebagai pesakitan. Tindakan ini mengingatkan kita pada rezim Orde Baru yang memenjarakan Rendra karena puisi atau membredel Teater Koma karena dianggap "mengganggu ketertiban". Bedanya, di era digital ini, represi justru menjadi bumerang. Klarifikasi Sukatani yang dipaksakan itu ibarat bensin yang menyulut api perlawanan. Setiap upaya pembungkaman justru mengubah lagu ini menjadi mars generasi yang frustasi pada negara yang lebih gemar membungkam ketimbang membenahi diri.

Sejarah membuktikan, karya seni yang dianggap "berbahaya" justru abadi sebagai monumen perlawanan. "Genjer-Genjer" dikubur hidup-hidup karena dianggap bagian dari G30S, padahal ia sekadar menggambarkan penderitaan rakyat pada masa pendudukan Jepang. Di tangan penguasa yang paranoid, bahkan lagu tentang sayur bisa jadi ancaman. Hari ini, "Bayar Bayar Bayar" mengulangi sejarah itu—dibenci penguasa karena menyuarakan apa yang semua orang tahu tapi tak berani ucapkan bahwa korupsi telah menjadi darah daging sistem.

Polisi mungkin mengira klarifikasi akan mengubah Sukatani menjadi boneka yang bisu. Tapi mereka lupa, roh lagu yang mereka bawakan ada pada pembangkangan. Setiap tekanan justru mengukuhkan posisi Sukatani sebagai ikon perlawanan. Mereka sekarang bukan sekadar band, melainkan simbol perlawanan terhadap mesin represi yang mengatasnamakan "demokrasi". Publik yang cerdas tahu bahwa klarifikasi di bawah todongan legitimasi kekuasaan adalah pertunjukan absurd yang lebih memalukan daripada rekayasa kasus konferensi pers terbunuhnya siswa SMK.

Kepada polisi, izinkan saya mengutip Wiji Thukul: “Sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu, ia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?” Daripada sibuk memata-matai lirik lagu, mengapa tak membersihkan institusi yang bobrok dari mafia? Daripada menuntut klarifikasi, mengapa tak transparan soal kasus? Kalian ribut melawan metafora, tapi tutup mata pada oknum instansi sendiri yang menggerogoti uang rakyat.

Sukatani telah membuktikan, senjata paling ampuh melawan represi adalah keberanian bersuara. Klarifikasi paksa itu justru monumen kekalahan penguasa—pengakuan tak langsung bahwa kritik mereka tepat sasaran. Kini, setiap kali lagu itu dinyanyikan ulang, ia bukan sekadar protes, melainkan epitaf untuk kredibilitas institusi yang memilih jadi algojo ketimbang pelayan publik.

Maka, biarkan "Bayar Bayar Bayar" menggema. Biarkan ia menjadi pengingat– sejarah selalu ditulis oleh mereka yang berani melawan, bukan oleh para penjaga status quo. Dan untuk polisi, inilah pilihanmu: tetap jadi badut represif dalam sirkus kekuasaan, atau berhenti jadi algojo dan mulai jadi entitas yang mendengarkan rakyat?


---

Selasa, 04 Februari 2025

Pemantik

Bernapas, bergerak, makan, minum, kerja. Selayaknya menjalani perjalanan hidup, sering kali memaksa kita untuk terus bergerak, terus melangkah, terus bernapas, terus makan, terus kerja. Intinya terus hidup. Namun dalam usaha keberlangsungan ini adakalanya juga sering nglamun dan klemar klemer bingung mikir.  

Dan, saya berfikir bahwa untuk keberlangsungan hidup memang seharusnya ada pemantiknya. Pemantik dalam artian sebab hal yang bisa membuat kita menjadi bersemangat lagi. Pemantik yang bisa membuat kita lupa akan adanya beban yang harus tetap dipikul sampai beban tersebut menguap dan hilang. Atau, beban yang saat ini terpanggul semakin membuat otot tubuh kita menjadi makin kuat dan makin enteng. 

Pemantik seyogyanya penting. Tidak hanya bersumber pada diluar diri kita namun juga yang terpenting adalah dari dalam diri kita. Karena sering kali pemantik yang berasal dari luar kehendak diri kita banyak mblesetnya. Maka dari itu tumpuan pemantik semangat hidup yang dari internal diberi kita yang penting. Kita harus mencari atau bahkan memproduksi sendiri pemantik itu. 

Pemahaman akan diri kita sendiri menjadi penting. Namun susah. Betul kan? 

Jalan yang paling mudah untuk menemukan pemantik untuk menjaga keberlangsungan dan kewarasan diri adalah dengan kita tahu “saya sebenernya mau apa sih” atau apa yang mau dicapai, apa yang mau diraih, apa yang mau dicita citakan. 

Beberapa poin tersebut mungkin akan membantu. Tidak usah muluk muluk dengan keinginan, capaian, cita-cita yang besar dan ndakik-ndakik. Cukup yang simpel saja. Misalnya keinginan untuk jalan-jalan dengan motor kesayangan, makan enak, mandi bersih, tidur dengan sprei kasur yang setelah di laudry. 

Hal simpel tersebut cukup ampuh kepada saya. Dan ya, cukup sedikit membantu apa yang sebenarnya yang diri saya inginkan dan apa yang cukup menjadi pemantik “hidup” ketika saya sendang merasa bingung dan banyak nglamunnya. 

Mungkin secuil tips dan remeh tersebut bisa menjadi jalan dan “pemantik” antum pula untuk tambah sedikit bergairah dalam menjalani hari.